SD Kristen 1 Salatiga Dalam Sebuah Flashback (70-80)

By Tiksna Pramudita

SD Zending

 SDK-1 kita tercinta ini, selama saya menimba ilmu di situ (1973-1980) masih sering disebut penduduk sekitar sebagai SD Zending. Kedengarannya keren sekali buat saya, ada rasa bangga punya sekolah dengan nama berbau Belanda. Sama seperti orang Bogor sekarang, yang masih bangga dengan nama lama kotanya: Buitenzorg. 

Zending sendiri adalah istilah belanda untuk ‘pemberitaan Injil’ atau ‘usaha-usaha untuk menyebarkan agama Kristen’. Yang dekat dengan istilah itu adalah zendelling, yang artinya ‘pengutusan’.

Gambar ilustrasi di atas adalah foto Zending Volksschool (Sekolah Rakyat Zending) di Ambarawa pada tahun 1892. Jadi kalau betul SD kita sudah berusia 100 tahun, kurang lebih seperti itulah kostum siswa-siswanya di djaman itoe: memakai kain jarik, berbaju surjan dan berblangkon.

Foto-kartupos ini diterbitkan oleh Salatiga Zending, nama populer sebuah badan pekabaran injil Jerman yang membuka kantor pusatnya di Salatiga sejak 1884. Nama resminya adalah “Neukirchener Missionshaus”, bergerak di bidang kesehatan dan pendidikan.

Saya tidak tahu, apakah badan zending ini yang mendirikan SDK-1 di Jl. Merbabu ataukah badan yang lain lagi. Tapi kemungkinan besar SD kita adalah yang tertua di wilyah Gemeente Salatiga, karena pemerintah kolonial sendiri baru mendirikan Sekolah Rakyat di Salatiga pada tahun 1907. SD Eropis (Europeesch) di jalan Diponegoro itu ‘kali ya..?

Bonus 1 Semester

Seharusnya Desember 1979 saya sudah lulus, tapi karena ada pergantian kurikulum di jaman Menteri Daoed Joesoef, maka sekolahnya diperpanjang 1 semester dan kelulusan ditunda hingga Juni 1980. Jadilah saya menghabiskan 6.5 tahun di SD. Sungguh semester tambahan yang menyenangkan, lha tiap hari hanya mengulang-ulang pelajaran semester terakhir, hehe…  

 Lansekap

Sekolah ini menghadap selatan, jadi dari ruang kelas bisa menikmati indahnya lereng-lereng gunung Merbabu, kalau sedang tidak diselimuti awan dan kabut tentu saja.

Sewaktu saya masuk (kelas 1) sekolah ini tidak punya pintu pagar, hanya pagar teh-tehan kalau tak salah. Sedangkan di samping kiri-kanan maupun belakang tidak ada pagar, hanya ada semacam batas kapling berupa tumpukan batu kali. Lebih tepatnya konstruksi penahan tanah, karena ada perbedaan level tanah antar bangunan di sepanjang Jalan Merbabu yang menanjak itu. Adapun di belakang, hanya ada batas alam berupa sungai kecil. Saking dangkalnya, sering dijadikan jalan pintas oleh penduduk sekitar, untuk menuju SMPK 1 atau Bioskop Rio / Ria (yang kemudian jadi Madya, sekarang Gereja Mawar Sharon) di Jl. Kotamadya.

 Onde-onde Ceplis

Di sisi barat, dulunya ada beberapa rumah penduduk, yang salah satunya memproduksi onde-onde ceplis. Ini jadi hiburan di saat jam istirahat bagi anak-anak kelas IV yang pintunya menghadap barat. Proses dari menguleni, menempelkan wijen, lalu menggoreng, sungguh asik buat ditonton. Belakangan rumah-rumah itu dirubuhkan, diganti sebuah bangunan besar, sebuah pabrik biskuit. Baunya memang wangi kalau sedang berproduksi, sayang tak ada yang bisa ditonton, karena sejak itu terdapat tembok bata yang tinggi di sisi barat sekolah.

 Bengkel Besi

Di sisi timur, ada bengkel pekerjaan logam, disana ada gerinda, bubut, alat rol besi, tanggem, dll. kalau sedang istirahat kami anak laki-laki suka bermain aneka peralatan di sana. kadang seragam jadi ternoda oleh jelaga atau karat besi. Kadang kami menggerinda sebuah paku besar sampai tajam dan pipih seperti pisau. Untung belum musim tawuran anak SD. Hehee..

 Pelukis Poster Bioskop

Persis di sebrang sekolah, ada bengkel pelukis reklame, terutama poster bioskop. Paling sip kalau gambarnya Bruce Lee, anak-anak jadi terpancing untuk bermain kungfu-kungfuan di pelataran sekolah. Tapi kadang-kadang gambarnya atau judulnya seronok juga. Sampai-sampai pak Parno yang brewokan (tapi tak berkumis) itu pernah mengutip salah satu judulnya untuk menjelaskan sesuatu di kelas: ‘Akibat Pergaulan Bebas’, hehe… Itu judul filem ngetop di tahun 1977, dibintangi Yenny Rachman dan Roy Marten yang asal Salatiga itu.

 Selokan Depan Sekolah

Ini adalah lokasi nongkrong favorit siswa laki-laki pada jam istrirahat, terutama kelas 5 dan 6. Tempat ini terlindung dari pandangan guru, jadi kami kadang-kadang melakukan berbagai hal yang seharusnya belum dilakukan anak usia SD. Antara lain: mencoba-coba rokok dan (jangan kaget ya) berebut nonton foto-foto ‘dewasa’ berukuran 10x10cm. Astaga… ternyata anak SD jaman dulu sudah nakal ya, hehee… Foto-foto hitam-putih ini kata yang bawa dapat nyolong dari lemari bapaknya. Bagi yang mendapat giliran menonton foto, harus siap-siap diperosotkan celananya oleh anak-anak nakal itu… hee hee hee… Saya kebetulan termasuk golongan yang alim. Ngalimpek’ake… 😛

 Pabrik Krupuk

Turun ke arah barat, di sebelah kanan ada pabrik krupuk yang pegawainya kadang masih berbahasa sunda. Kerjaan saya dan teman2 adalah mencuri satu-dua krupuk yg sedang dijemur dan cepat2 kabur sambil menggigiti krupuk yg masih alot tapi gurih itu.

 Pabrik Permen

Turun lagi, di pertigaan Jl. Merbabu-Merapi, di sebelah kiri ada bangunan lama ex-belanda yang jadi pabrik permen sirsak. Teman saya rumahnya di situ, namanya Waljinah. Saya pernah diajak masuk untuk melihat bagaimana adonan sirsaknya dicetak menjadi kotak-kotak kecil, dikasih tepung biar tak lengket, lalu dibungkus dengan kertas minyak putih. Pulangnya disangoni sekantung buat dibagi di rumah, tapi langsung saya habiskan sendiri hari itu juga… lha enak je, hehe…

 Petilasan Perjanjian Salatiga (1757)

Di ujung tembok belakang kantor Kotamadya, ada tanah luas tak berpagar, dengan 2 bangunan kuno di dalamnya. Salah satunya adalah bangunan kecil beratap joglo yang sangat cantik proporsinya. Saya pernah berkelahi dengan Hamid di situ gara-gara saling mengejek nama orangtua. Gojek kebablasen, begitulah… 🙂 Konon di sekitar situs inilah pernah berlangsung Perjanjian Salatiga (1757), yang mengakhiri secara tuntas perang suksesi di Kerajaan Mataram. Perjanjian inilah yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai pecahan dari Kerajaan Surakarta. Rajanya yang kemudian bergelar Mangkunegara I punya nama asli Raden Mas Said, tapi juga tersohor sebagai Pangeran Samber Nyawa, yang konon sakti mandraguna.

 Toko kelontong Nyah Loo

Yang ini lokasinya di Jl. Kotamadya. Agak jauh, lewat jalan pintas, tapi lengkap. Segala kebutuhan anak sekolah tersedia. Beberapa tahun yang lalu kakak saya iseng-iseng menanyakan sabak dan grip… setelah si engkoh anaknya Nyah Loo gresekan ke gudang, ternyata barang antik itu masih ada ! Artinya toko kecil ini memang sudah lama usianya. Sama tuanya dengan SD Zending kita mungkin…

 Apa lagi ya…

Ini sebagian kenangan yang masih tersisa di memori saya, barangkali ada alumnus yang bisa berbagi kenangan masing-masing…? Silakan ditambahkan sendiri lewat komentar di bawah.. 🙂

 Wassalam,

Tiksna Pramudita, 15 Maret 2012